Nasi Thiwul – Nasi Jagung, what’s so wrong with that?
Minggu lalu beberapa orang tewas karena makan thiwul, kalau kamu baca Kompas tadi pagi ada lagi photo keluarga sedang makan nasi jagung. Berita ini selalu bernada minor seakan kedua bahan pokok tersebut menjijikan, dan hanya dikonsumsi oleh mereka yang sangat miskin. Pokoknya “nggilani” lah. Ternyata kemudian thiwul sang pembunuh itu di ketahui bukan thiwul yang biasa di kenal, tetapi ampas ketela dari pabrik tepung tapioka.
Mungkin kamu tidak tahu, aku dibesarkan dengan thiwul dan jagung ini. Thiwul punya tempat terhormat di desa asalku, Kismantoro, nun di pelosok Wonogiri. Bayangin, disana kamu akan ditawari makan dengan cara : “monggo niwul rumiyin” mari makan dulu . Niwul artinya makan lengkap, meskipun tidak ada thiwul disediakan, tetapi sudah menjadi jargon umum, niwul=dahar=makan.
Kamu tahu kan thiwul yang aku maksud bukan seperti thiwul yang kamu beli untuk camilan, yang dicampur gula merah itu. Tetapi thiwul sebagai nasi dimakan dengan lauk pauk seperti biasa. Membuat gaplek cukup mudah. Singkong jenis baik, dikupas di jemur sampai kering, di cuci bersih, dijemur lagi kemudian ditumbuk menjadi tepung. Tepung di pyur pyur dengan air di tampah, kemudian di interi sampai menjadi butiran kecil yang sama besar, semakin lama di interi semakin padat butiran tersebut, semakin kenyal enak. Kemudian di kukus di dandang, di campur dengan sedikit nasi beras. Voila, nasi lezat sudah tersedia, lauknya suka2, tetapi yang paling sedap adalah sayur pedas. Mak nyoosss.
Nasi jagung zadul, so many effort yang kudu di dedikasikan. Jagung pipilan musti di kecrok dulu, di tumbuk di lumpang dengan sedikit air bertujuan mengupas kulit ari. Jagung bersih direndam semalam suntuk untuk di tumbuk menjadi tepung halus keesokan harinya. Tepung di pyru pyur air, di interi ditampah kemudian di kukus. Setengah matang di angkat di angin sebentar di pyur pyur air panas agar lembut kemudian di kukus lagi. Ritual ini dibutuhkan untuk membuat nasi jagung menjadi lembut dan pulen. Bayangkan, untuk memakan nasi jagung sepiring , harus menunggu sehari semalam dan segitu banyak keringat tertumpah. Nasi jagung ini sangat enak dimakan sama gereh ( ikan asin) dan urap kembang turi lembayung pedas, ojo lali jangan tempe bosok lombok ijo. Harap di catat, makan nasi jagung harus menyediakan air minum, seret bo mang.
Sejak jaman swasembada beras, dimana hanya nasi beras yang layak terhidang di meja makan kaum beradab, anak2 ku sudah tidak mengenal kedua jenis nasi tersebut. Meski dirumahku masih sering terhidang ( untuk tombo kangen) namun mereka tidak mau menyentuhnya, kecuali mereka ambil thiwul sedikit di campur sama palm sugar, di camil. Sayang sekali.
Sungguh, sebagai konsumen thiwul tulen, aku tidak merasa hina maupun terbelakang, apalagi merasa bodoh, gak sama sekali tuh, ataupun kekurangan gizi, dari dulu sampai sekarang.
Maka berhentilah mengkondisikan kami, para pemakan thiwul, sebagai manusia rendah.